Jokowi adalah tokoh pemimpin terpuji Walikota Solo dan berperan memperomosikan Mobil ESEMKA.
Ir. Joko Widodo (Jokowi)
adalah walikota Kota Surakarta (Solo) untuk dua kali masa bhakti
2005-2015. Wakil walikotanya adalah F.X. Hadi Rudyatmo. Jokowi lahir di
Surakarta pada 21 Juni 1961.
Biodata Joko Widodo
Nama : Joko Widodo
Tempat Tanggal Lahir: Surakarta, 21 Juni 1961
Agama : Islam
Pekerjaan : Pengusaha
Agama : Islam
Profil Facebook : jokowi
Akun twitter : jokowi_do2
Email: jokowi@indo.net.id
Alamat Kantor : Jl. Jend. Sudirman No. 2 Telp. 644644, 642020, Psw 400, Fax. 646303
Alamat Rumah Dinas : Rumah Dinas Loji Gandrung Jl. Slamet Riyadi No. 261 Telp. 712004
HP. 0817441111
Pendidikan:
- SDN 111 Tirtoyoso Solo
- SMPN 1 Solo
- SMAN 6 Solo
- Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta lulusan 1985
Anak :
- Gibran Rakabuming (25), lulusan Universitas di Australia dan Singapura
- Kahiyang Ayu (21), mahasiswi Universitas Negeri Sebelas Maret
- Kaesang Pangarep (17), pelajar di Singapura
Karir:
- Pendiri Koperasi Pengembangan Industri Kecil Solo (1990)
- Ketua Bidang Pertambangan & Energi Kamar Dagang dan Industri Surakarta (1992-1996)
- Ketua Asosiasi Permebelan dan Industri Kerajinan Indonesia Surakarta (2002-2007)
Penghargaan:
- Joko Widodo terpilih menjadi salah satu dari "10 Tokoh 2008"
- Menjadi walikota terbaik tahun 2009
- Pak Joko Widodo jg meraih penghargaan Bung Hatta Award, atas
kepemimpinan dan kinerja beliau selama membangun dan memimpin kota Solo.
- Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) Award
Selain itu, berkat kepemimpinan beliau (dan tentunya semua pihak yg
membantu), kota Solo jg banyak meraih penghargaan, di antaranya
- Kota Pro-Investasi dari Badan Penanaman Modal Daerah Jawa Tengah
- Kota Layak Anak dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan
- Wahana Nugraha dari Departemen Perhubungan
- Sanitasi dan Penataan Permukiman Kumuh dari Departemen Pekerjaan Umum
- Kota dengan Tata Ruang Terbaik ke-2 di Indonesia
Kota Solo di Masa Kepemimpinan Jokowi:
- Kota dengan Tata Ruang Terbaik ke-2 di Indonesia
- Piala dan Piagam Citra Bhakti Abdi Negara dari Presiden Republik Indonesia (2009), untuk kinerja kota dalam penyediaan sarana Pelayanan Publik, Kebijakan Deregulasi, Penegakan Disiplin dan Pengembangan Manajemen Pelayanan
- Piala Citra Bidang Pelayanan Prima Tingkat Nasional oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia (2009)
- Penghargaan dari Departemen Keuangan berupa dana hibah sebesar 19,2 miliar untuk pelaksanaan pengelolaan keuangan yang baik (2009)
- Penghargaan Unicef untuk Program Perlindungan Anak (2006)
- Indonesia Tourism Award 2009 dalam Kategori Indonesia Best Destination dariDepartemen Kebudayaan dan Pariwisata RIbekerjasama dengan majalah SWA.
- Penghargaan Kota Solo sebagai inkubator bisnis dan teknologi (2010) dari Asosiasi Inkubator Bisnis Indonesia (AIBI)
- Grand Award Layanan Publik Bidang Pendidikan (2009)
- 5 kali Anugerah Wahana Tata Nugraha (2006-2011) – Penghargaan Tata Tertib Lalu Lintas dan Angkutan Umum
- Penghargaan Manggala Karya Bhakti Husada Arutala dari DepKes (2009)
- Kota Terfavorit Wisatawan 2010 dalam Indonesia Tourism Award 2010 yang diselenggarakan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
- Pemerintah Kota Solo meraih penghargaan kota/kabupaten pengembang UMKM terbaik versi Universitas Negeri Sebelas Maret alias UNS SME’s Awards 2012
- Penghargaan dari Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai salah satu kota terbaik penyelenggara program pengembangan mewujudkan Kota Layak Anak (KLA) 2011.
- Penghargaan Langit Biru 2011 dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk kategori Kota dengan kualitas udara terbersih
- Penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam bidang Pelopor Inovasi Pelayanan Prima (2010).
Biografi Jokowi (Joko Widodo)
Jokowi meraih gelar insinyur dari Fakultas Kehutanan
UGM pada tahun 1985. Ketika mencalonkan diri sebagai
walikota Solo,
banyak yang meragukan kemampuan pria yang berprofesi sebagai pedagang
mebel rumah dan taman ini; bahkan hingga saat ia terpilih. Namun setahun
setelah ia memimpin, banyak gebrakan progresif dilakukan olehnya. Ia
banyak mengambil contoh pengembangan kota-kota di Eropa yang sering ia
kunjungi dalam rangka perjalanan bisnisnya.
Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan yang pesat. Branding untuk kota Solo dilakukan dengan menyetujui moto "
Solo: The Spirit of Java". Langkah yang dilakukannya cukup progresif untuk ukuran kota-kota di Jawa: ia mampu merelokasi pedagang barang bekas di
Taman Banjarsari
hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka,
memberi syarat pada investor untuk mau memikirkan kepentingan publik,
melakukan
komunikasi langsung rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) dengan masyarakat.
Taman Balekambang,
yang terlantar semenjak ditinggalkan oleh pengelolanya, dijadikannya
taman. Jokowi juga tak segan menampik investor yang tidak setuju dengan
prinsip kepemimpinannya. Sebagai tindak lanjut branding ia mengajukan
Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia dan
diterima pada tahun 2006. Langkahnya berlanjut dengan keberhasilan
Surakarta menjadi tuan rumah Konferensi organisasi tersebut pada bulan
Oktober 2008 ini. Pada tahun 2007 Surakarta juga telah menjadi tuan
rumah Festival Musik Dunia (FMD) yang diadakan di kompleks Benteng
Vastenburg yang terancam digusur untuk dijadikan pusat bisnis dan
perbelanjaan. FMD pada tahun 2008 diselenggarakan di komplek Istana
Mangkunegaran.
Berkat prestasi tersebut,
Jokowi terpilih menjadi salah satu dari "10 Tokoh 2008" oleh Majalah Tempo.
Asal Nama Julukan Jokowi
“Jokowi itu pemberian nama dari buyer
saya dari Prancis,” begitu kata Wali Kota Solo, Joko Widodo, saat
ditanya dari mana muncul nama Jokowi. Kata dia, begitu banyak nama
dengan nama depan Joko yang jadi
eksportir mebel kayu. Pembeli dari luar bingung untuk membedakan, Joko yang ini apa Joko yang itu. Makanya, dia terus diberi nama khusus,
‘Jokowi’.
Panggilan itu kemudian melekat sampai sekarang. Di kartu nama yang dia
berikan tertulis, Jokowi, Wali Kota Solo. Belakangan dia mengecek, di
Solo yang namanya persis Joko Widodo ada 16 orang.
Saat ini, Jokowi menjabat untuk periode kedua. Kemenangan mutlak
diperoleh saat pemilihan wali kota tahun lalu. Nama Jokowi kini tidak
hanya populer, tapi
kepribadiannya
juga disukai masyarakat. Setidaknya, ketika pergi ke pasar-pasar, para
pedagang beramai-ramai memanggilnya, atau paling tidak berbisik pada
orang sebelahnya, “Eh..itu Pak Joko.”
Bagaimana ceritanya sehingga dia bisa dicintai masyarakat Solo?
Kebijakan apa saja yang telah membuat rakyatnya senang? Mengapa pula dia
harus menginjak pegawainya? Berikut wawancara wartawan Republika, Ditto
Pappilanda, dengan Jokowi dalam kebersamaannya sepanjang setengah hari
di seputaran Solo.
Sikap apa yang Anda bawa dalam menjalankan karier sebagai birokrat?
Secara prinsip, saya hanya bekerja untuk rakyat. Hanya itu, simpel. Saya
enggak berpikir macam-macam, wong enggak bisa apa-apa. Mau dinilai
tidak baik, silakan, mau dinilai baik, ya silakan. Saya kan tugasnya
hanya
bekerja. Enggak ada kemauan macam-macam. Enggak punya target apa-apa. Bekerja. Begitu saja.
Bener, saya tidak muluk-muluk dan sebenarnya yang kita jalankan pun
semua orang bisa ngerjain. Hanya, mau enggak. Punya niat enggak. Itu
saja. Enggak usah tinggi-tinggi. Sederhana sekali.
Contoh, lima tahun yang lalu, pelayanan KTP kita di kecamatan semrawut.
KTP bisa dua minggu, bisa tiga minggu selesai. Tidak ada waktu yang
jelas. Bergantung pada yang meminta, seminggu bisa, dua minggu bisa.
Tapi, dengan memperbaiki sistem, apa pun akan bisa berubah. Menyiapkan
sistem, kemudian melaksanakan sistem itu, dan kalau ada yang enggak mau
melaksanakan sistem, ya, saya injak.
Awalnya reaksi internal bagaimana?
Ya biasa, resistensi setahun di depan, tapi setelah itu, ya, biasa saja.
Semuanya kalau sudah biasa, ya semuanya senang. Ya, kita mengerti itu
masalah kue, ternyata ya juga bisa dilakukan.
Untuk mengubah sistem proses KTP itu, tiga lurah saya copot, satu camat
saya copot. Saat itu, ketika rapat diikuti 51 lurah, ada tiga lurah yang
kelihatan tidak niat. Enggak mungkin satu jam, pak, paling tiga hari,
kata mereka. Besoknya lurah itu tidak menjabat. Kalau saya, gitu saja.
Rapat lima camat lagi, ada satu camat, sulit pak, karena harus entri
data. Wah ini sama, lah. Ya, sudah.
Nyatanya, setelah mereka hilang, sistemnya bisa jalan. Seluruh kecamatan
sekarang sudah seperti bank. Tidak ada lagi sekat antara masyarakat dan
pegawai, terbuka semua. Satu jam juga sudah jadi. Rupiah yang harus
dibayar sesuai perda, Rp 5.000.
Anda juga punya pengalaman menarik dalam penanganan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang kemudian banyak menjadi rujukan?
Iya. Sekarang banyak daerah-daerah ke sini, mau mengubah mindset. Oh
ternyata penanganan (PKL) bisa tanpa berantem. Memang tidak mudah.
Pengalaman kami waktu itu adalah memindahkan PKL di Kecamatan Banjarsari
yang sudah dijadikan tempat jualan bahkan juga tempat tinggal selama
lebih dari 20 tahun. Kawasan itu sebetulnya kawasan elite, tapi karena
menjadi tempat dagang sekaligus tempat tinggal, yang terlihat adalah
kekumuhan.
Lima tahun yang lalu, mereka saya undang makan di sini (ruang rapat
rumah dinas wali kota). Saya ajak makan siang, saya ajak makan malam.
Saya ajak bicara. Sampai 54 kali, saya ajak makan siang, makan malam,
seperti ini. Tujuh bulan seperti ini. Akhirnya, mereka mau pindah.
Enggak usah di-gebukin.
Mengapa butuh tujuh bulan, mengapa tidak di tiga bulan pertama?
Kita melihat-melihat angin, lah. Kalau Anda lihat, pertama kali mereka
saya ajak ke sini, mereka semuanya langsung pasang spanduk. Pokoknya
kalau dipindah, akan berjuang sampai titik darah penghabisan, nyiapin
bambu runcing. Bahkan, ada yang mengancam membakar balai kota.
Situasi panas itu sampai pertemuan ke berapa?
Masih sampai pertemuan ke-30. Pertemuan 30-50 baru kita berbicara.
Mereka butuh apa, mereka ingin apa, mereka khawatir mengenai apa. Dulu,
mereka minta sembilan trayek angkot untuk menuju wilayah baru. Kita beri
tiga angkutan umum. Jalannya yang sempit, kita perlebar.
Yang sulit itu, mereka meminta jaminan omzet di tempat yang baru sama
seperti di tempat yang lama. Wah, bagaimana wali kota disuruh menjamin
seperti itu. Jawaban saya, rezeki yang atur di atas, tapi nanti selama
empat bulan akan saya iklankan di televisi lokal, di koran lokal, saya
pasang spanduk di seluruh penjuru kota. Akhirnya, mereka mau pindah.
Pindahnya mereka saya siapkan 45 truk, saya tunggui dua hari, mereka
pindah sendiri-sendiri. Pindahnya mereka dari tempat lama ke tempat baru
saya kirab dengan prajurit keraton. Ini yang enggak ada di dunia mana
pun. Mereka bawa tumpeng satu per satu sebagai simbol kemakmuran.
Artinya, pindahnya senang. Tempat yang lama sudah jadi ruang terbuka
hijau kembali.
Omzetnya di tempat yang baru?
Bisa empat kali. Bisa tanya ke sana, jangan tanya saya. Tapi, ya
kira-kira ada yang sepuluh kali, ada yang empat kali. Rata-rata empat
kali. Ada yang sebulan Rp 300 juta. Itu sudah bukan PKL lagi,
geleng-geleng saya.
Bagaimana dengan PKL yang lain?
Setelah yang eks-PKL Banjarsari pindah, tidak sulit meyakinkan yang
lain. Cukup pertemuan tiga sampai tujuh kali pertemuan selesai. Sampai
saat ini, kita sudah pindahkan 23 titik PKL, tidak ada masalah.
Lha yang repot sekarang ini malah pedagang PKL itu minta direlokasi.
Kita yang nggak punya duit. Sampai sekarang ini, masih 38 persen PKL
yang belum direlokasi. Jadi, kalau masih melihat
PKL di jalan atau trotoar, itu bagian dari 38 persen tadi.
D
ampaknya, pemberdayaan pasar menjadi perhatian Anda?
Oiya. Kita sudah merenovasi 34 pasar dan membangun pasar yang baru di
tujuh lokasi. Jika dikelola dengan baik, pasar ini mendatangkan
pendapatan daerah yang besar.
Dulu, ketika saya masuk, pendapatan dari pasar hanya Rp 7,8 miliar,
sekarang Rp 19,2 miliar. Hotel hanya Rp 10 miliar, restoran Rp 5 miliar,
parkir Rp 1,8 miliar, advertising Rp 4 miliar. Hasil Rp 19,2 miliar itu
hanya dari retribusi harian Rp 2.600. Pedagangnya banyak sekali, kok.
Ini yang harus dilihat. Asal manajemennya bagus, enggak rugi kita
bangun-bangun pasar. Masyarakat-pedagang terlayani, kita dapat income
seperti itu.
Sementara kalau mal, enggak tahu saya, paling bayar IMB saja, kita mau
tarik apa? Makanya, mal juga kita batasi. Begitu juga hypermarket kita
batasi. Bahkan, minimarket juga saya stop izinnya. Rencananya dulu akan
ada 60-80 yang buka, tapi tidak saya izinkan. Sekarang hanya ada
belasan.
Tapi, sepertinya Pasar Klewer belum tersentuh ya, kondisinya masih kurang nyaman?
Klewer itu, waduh. Duitnya gede sekali. Kemarin, dihitung investor, Rp
400 miliar. Duit dari mana? Anggaran berapa puluh tahun, kita mau cari
jurus apa belum ketemu. Anggaran belanja Solo Rp 780 miliar, tahun ini
Rp 1,26 triliun. Tidak mampu kita. Pedagang di Klewer lebih banyak,
3.000-an pedagang, pasarnya juga besar sekali. Di situ, yang Solo
banyak, Sukoharjo banyak, Sragen banyak, Jepara ada, Pekalongan ada,
Tegal ada. Batik dari mana-mana. Tapi, saya yakin ada jurusnya, hanya
belum ketemu aja.
Soal pendidikan, di beberapa daerah sudah banyak dilakukan pendidikan gratis, apakah di Solo juga begitu?
Kita beda. Di sini, kita menerbitkan kartu untuk siswa, ada platinum,
gold, dan silver. Mereka yang paling miskin itu memperoleh kartu
platinum. Mereka ini gratis semuanya, mulai dari uang pangkal sampai
kebutuhan sekolah dan juga biaya operasional. Kemudian, yang gold itu
mendapat fasilitas, tapi tak sebanyak platinum. Begitu juga yang silver,
hanya dibayari pemkot untuk kebutuhan tertentu.
Itu juga yang diberlakukan untuk kesehatan?
Iya, ada kartu seperti itu, ada gold dan silver. Gold ini untuk mereka yang masuk golongan
sangat miskin. Semua gratis, perawatan rawat inap, bahkan cuci darah pun untuk yang gold ini gratis.
Tampaknya, sekarang masyarakat sudah percaya pada Anda, padahal di awal terpilih, banyak yang sangsi?
Yah, satu tahun, lah. Namanya belum dikenal, saya kan bukan potongan
wali kota, kurus, jelek. Saya juga enggak pernah muncul di Solo, apalagi
bisnis saya 100 persen ekspor. Ada yang sangsi, ya biar saja, sampai
sekarang enggak apa-apa. Mau sangsi, mau menilai jelek, terserah orang.
Dulu, apa niat awalnya jadi wali kota?
Enggak ada niat, kecelakaan. Ndak tahu itu. Dulu, pilkada pertama, kita
dapat suara 37 persen, menang tipis. Wong saya bukan orang terkenal,
kok. Yang lain terkenal semuanya kan, saya enggak. Tapi, kelihatannya
masyarakat sudah malas dengan orang terkenal. Mau coba yang enggak
terkenal. Coba-coba, jadi saya bilang kecelakaan tadi itu memang betul.
Hal apa yang paling mengesankan selama Anda menjadi wali kota?
Paling mengesankan? Paling mengesankan itu, kalau dulu, kan, wali kota
mesti meresmikan hal yang gede-gede. Meresmikan mal terbesar besar
misalnya. Tapi, sekarang, gapura, pos ronda, semuanya saya yang buka,
kok. Pos ronda minta dibuka wali kota, gapura dibuka wali kota, ya
gimana rakyat yang minta, buka aja. Ya, kadang-kadang lucu juga. Tapi
kita nikmati.
Apa kesulitan yang paling pertama Anda temui saat menjabat sebagai wali kota?
Masalah aturan. Betul. Kita, kalau di usaha, mencari yang se-simpel
mungkin, seefisien mungkin. Tapi, kita di pemerintahan enggak bisa, ada
tahapan aturan. Meskipun anggaran ada, aturannya enggak terpenuhi,
enggak bisa jalani. Harusnya, bisa kita kerjain dua minggu, harus
menunggu dua tahun. Banyak aturan-aturan yang justru membelenggu kita
sendiri, terlalu prosedural. Kita ini jadi negara prosedur.
Apa pertimbangannya saat Anda mencalonkan untuk kali kedua?
Sebetulnya, saya enggak mau. Mau balik lagi ke habitat tukang kayu. Saat
itu, setiap hari datang berbondong-bondong berbagai kelompok yang
mendorong saya maju lagi. Mereka katakan, ini suara rakyat. Saya
berpikir, ini benar ndak, apa hanya rekayasa politik. Dua minggu saya
cuti, pusing saya mikir itu. Saya pulang, okelah saya survei saja. Saya
survei pertama, dapatnya 87 persen. Enggak percaya, saya survei lagi,
dapatnya 87 persen lagi.
Setelah survei itu, saya melihat, benar-benar ada
keinginan
masyarakat. Jadi, yang datang ke saya itu benar. Dan ternyata memang
saya dapat hampir 91 persen. Saya lihat ada harapan dan ekspektasi yang
terlalu besar. Perhitungan saya 65-70 persen. Hitungan di atas kertas
65:35, atau 60:40, kira-kira.
Ada kekhwatiran tidak, ketika lepas jabatan, semua yang Anda bangun tetap terjaga?
Pertama ada blueprint, ada concept plan kota. Paling tidak, pemimpin
baru nanti enggak usah pakai 100 persen, seenggaknya 70 persen. Jangan
sampai, sudah SMP, kembali lagi ke TK. Saya punya kewajiban juga untuk
menyiapkan dan memberi tahu apa yang harus dilakukan nantinya.
Sumber:http://biografi.rumus.web.id/2012/01/biografi-jokowi-joko-widodo.html
Kompas.com